Friday, 10 April 2015

Cerpen kehidupan

Lika-Liku Kehidupan

Hari masih pagi, tetapi semua orang rumah sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing termasuk aku. Namaku Alya Setyani, aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, aku terlahir alhamdulillah masih sempurna hanya saja banyak orang yang sering mengejekku karena kulitku yang agak hitam. Walaupun sebenarnya sangat menyakitkan namun itu sudah hal yang biasa bagiku. Aku mencari ibuku meminta restu akan mencari ilmu agar ilmu yang aku dapat bisa bermanfaat di dunia dan di akhirat. Amiin. “Bu... Alya berangkat sekolah dulu ya, do’a-kan Alya agar bisa menerima pelajaran dengan baik dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat”. Aku mencium tangan ibuku. “Iya Nak, ibu do’a-kan semoga kamu bisa mendapat ilmu yang bermanfaat.”ucap ibu. Aku segera berangkat dengan sepeda buntutku yang pernah dibelikan ayah sewaktu kelas 3 SD karena aku mendapat peringkat 5 di kelas dan karena ayah juga sudah pernah berjanji jika aku masuk 5 besar aku akan dibelikan sepeda baru. Sepeda itu yang selalu menemaniku ke manapun aku pergi.
Hari ini hari pertama kali aku masuk sekolah jenjang SMP, aku terlihat bersemangat untuk menerima pelajaran. Pertama masuk kelas aku hanya terdiam karena semua penghuni kelas memandangku dengan tatapan sinisnya. Aku malu saat seseorang memanggilku dengan nama ynag tak pantas untuk disebut. “Hei Black, ngapain lo di sini? Lo nggak pantas masuk sekolah ini, lo pantasnya itu di swasta sana”. Kata seseorang sambil mendorongku. Mataku mulai merah mendengar ucapannya, air mataku hampir jatuh hanya karena itu. Aku menatap matanya dan menjawab perkataan dia. “Atas dasar apa kamu bicara seperti itu? Sekolah ini telah menerimaku jadi murd, jadi aku berhak untuk sekolah di sini. Aku juga udah bayar.” Aku sangat emosi dengan ucapannya.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi, aku meninggalkannya dan langsung duduk di belakang dengan wanita cantik yang sangat pendiam. “Hai... Namaku Alya Setyani, kamu bisa panggil aku Alya. Namamu siapa?” aku mengulurkan tangan mengajak teman sebangkuku berkenalan. “Namaku Sri Fatonah, kamu bisa panggil aku Sri”. Sri menyambut uluran tangan dariku. Baru sebatas tahu nama karena ada seorang guru masuk kelas kami yang dimulainya dengan salam yang halus dan lembut mengalun ditelinga. “Nama Ibu Nita Fauzi, alamat Banjurmukadan, dan status menikah, apa ada yang mau ditanyakan?” Itulah perkenalan pendek seorang guru yang mungkin menjadi wali kelas kami ke depannya. “Bu, apa warna kulit mempengaruhi syarat untuk masuk di sini?” Semua anak mentertawakanku kecuali Sri teman sebangkuku. “Sudah-sudah nggak usah tertawa, siswa yang masuk sekolah ini tidak ada yang dibeda-bedakan mau kaya-miskin, putih-hitam, islam-non islam itu sama kami selaku guru tidak pernah membeda-bedakan kalian. Kami hanya merekrut kalian berdasarkan nilai kalian, bukan karena status sosial dan lain-lain. Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mba?” Bu Nita menjelaskan panjang lebar kepada kami. “Tadi sewaktu saya mau masuk kelas ada anak kelas ini yang bicara kalau orang hitam itu pantasnya di swasta, Bu.”Aku menceritakan kejadian tadi di hadapan semua anak. “Mba, sekolah itu tidak ada diskriminasi jadi walaupun kamu hitam atau putih itu semua sama. Jadi hiraukan aja ejekan teman-temanmu itu, anggap aja itu angin lalu.” kata Bu Guru menjelaskan. Akupun mendengarkan nasehatnya, beliau sangat halus di setiap ucapannya tidak sedikitpun ucapannya yang mengganjal di hati.
Selama satu tahun aku melewati ujian dan tantangan, aku selalu diejek dan selalu direndahkan oleh teman-temanku karena aku hitam. Tapi aku nggak pernah nganggap itu semua masalah yang berat, justru dengan cara itu aku ingin membuat mereka itu kagum dan merasa butuh terhadapku.
Hari ini adalah pengambilan raport kenaikan kelas, detak jantung telah terasa sejak semalem. Kulihat raut wajah bapakku setelah turun dari motor, raut wajah yang tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Bapakku sangat lesu dan kusam, kuhampiri bapakku dengan rasa takut dan khawatir dengan nilaiku yang mungkin mengecewakan. Aku sangat takut dan takut.... bapakku memberikan raportnya kepadaku tanpa bicara apapun. Aku membukanya perlahan tapi pasti, kulihat dan kutelusuri setiap inci tulisan itu. “Pak... alhamdulillah nilaiku cukup bagus semua, nggak ada satupun yang merah.” Aku mulai berani bicara, ternyata bapakku dari tadi udah senyam-senyum sendiri nggak jelas saat aku melihat raportku. “Alya.... katanya Bu Nita, kamu nggak 10 besar kelas.” ucap bapakku bohong. “Apa?!” aku mulai lemas saat mendengar ucapan bapakku. Bapakku memelukku dan mengucapkan selamat kepadaku atas prestasiku yang cukup membuatnya bahagia. “Alya.. alhamdulillah kamu peringkat 2 di kelas, maafkan bapak telah membohongimu tadi. Kalau bisa tingkatkan lagi nilaimu atau pertahankan nilaimu.” Aku menangis dipelukan bapakku, mendengar tangisanku tetangga dan ibuku menghampiriku dengan rasa penasaran. “Kamu kenapa Al, kok nangisnya keras banget” tanya tetanggaku. “Nggak papa kok Bu, ini tangisan bahagia. Maafkan Alya telah membuat ibu terganggu.”maafku terhadap tetanggaku.

 Liburan kenaikan kelaspun usai juga, saatnya untuk kembali belajar di sekolah. Di kelas 8 ini aku menemukan teman baru, harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman baru. Saat pelajaran Fisika seorang guru bertanya kepada siswa, “ Setelah lulus SMP kalian akan melanjutkan ke mana, usahakan jangan ke swasta ya?” Aku dan teman sekelasku bingung mau menjawab apa, belum terngiang di pikiranku akan ke mana setelah ini. “Kenapa kalian diam? Apa kalian belum kepikiran setelah ini mau ngapain?” jawab guruku. “Belum Pak.” Jawab kami kompak. “Sekarang kalian maju satu-satu 

No comments:

Post a Comment