Lika-Liku Kehidupan
Hari
masih pagi, tetapi semua orang rumah sudah sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing termasuk aku. Namaku Alya Setyani, aku adalah anak pertama dari
tiga bersaudara, aku terlahir alhamdulillah masih sempurna hanya saja banyak
orang yang sering mengejekku karena kulitku yang agak hitam. Walaupun sebenarnya
sangat menyakitkan namun itu sudah hal yang biasa bagiku. Aku mencari ibuku
meminta restu akan mencari ilmu agar ilmu yang aku dapat bisa bermanfaat di
dunia dan di akhirat. Amiin. “Bu... Alya berangkat sekolah dulu ya, do’a-kan
Alya agar bisa menerima pelajaran dengan baik dan mendapatkan ilmu yang
bermanfaat”. Aku mencium tangan ibuku. “Iya Nak, ibu do’a-kan semoga kamu bisa
mendapat ilmu yang bermanfaat.”ucap ibu. Aku segera berangkat dengan sepeda
buntutku yang pernah dibelikan ayah sewaktu kelas 3 SD karena aku mendapat
peringkat 5 di kelas dan karena ayah juga sudah pernah berjanji jika aku masuk
5 besar aku akan dibelikan sepeda baru. Sepeda itu yang selalu menemaniku ke
manapun aku pergi.
Hari
ini hari pertama kali aku masuk sekolah jenjang SMP, aku terlihat bersemangat
untuk menerima pelajaran. Pertama masuk kelas aku hanya terdiam karena semua
penghuni kelas memandangku dengan tatapan sinisnya. Aku malu saat seseorang
memanggilku dengan nama ynag tak pantas untuk disebut. “Hei Black, ngapain lo
di sini? Lo nggak pantas masuk sekolah ini, lo pantasnya itu di swasta sana”.
Kata seseorang sambil mendorongku. Mataku mulai merah mendengar ucapannya, air
mataku hampir jatuh hanya karena itu. Aku menatap matanya dan menjawab
perkataan dia. “Atas dasar apa kamu bicara seperti itu? Sekolah ini telah
menerimaku jadi murd, jadi aku berhak untuk sekolah di sini. Aku juga udah
bayar.” Aku sangat emosi dengan ucapannya.
Tiba-tiba
bel masuk berbunyi, aku meninggalkannya dan langsung duduk di belakang dengan
wanita cantik yang sangat pendiam. “Hai... Namaku Alya Setyani, kamu bisa
panggil aku Alya. Namamu siapa?” aku mengulurkan tangan mengajak teman sebangkuku
berkenalan. “Namaku Sri Fatonah, kamu bisa panggil aku Sri”. Sri menyambut
uluran tangan dariku. Baru sebatas tahu nama karena ada seorang guru masuk
kelas kami yang dimulainya dengan salam yang halus dan lembut mengalun
ditelinga. “Nama Ibu Nita Fauzi, alamat Banjurmukadan, dan status menikah, apa
ada yang mau ditanyakan?” Itulah perkenalan pendek seorang guru yang mungkin
menjadi wali kelas kami ke depannya. “Bu, apa warna kulit mempengaruhi syarat
untuk masuk di sini?” Semua anak mentertawakanku kecuali Sri teman sebangkuku.
“Sudah-sudah nggak usah tertawa, siswa yang masuk sekolah ini tidak ada yang
dibeda-bedakan mau kaya-miskin, putih-hitam, islam-non islam itu sama kami
selaku guru tidak pernah membeda-bedakan kalian. Kami hanya merekrut kalian berdasarkan
nilai kalian, bukan karena status sosial dan lain-lain. Kenapa kamu bertanya
seperti itu, Mba?” Bu Nita menjelaskan panjang lebar kepada kami. “Tadi sewaktu
saya mau masuk kelas ada anak kelas ini yang bicara kalau orang hitam itu
pantasnya di swasta, Bu.”Aku menceritakan kejadian tadi di hadapan semua anak. “Mba,
sekolah itu tidak ada diskriminasi jadi walaupun kamu hitam atau putih itu
semua sama. Jadi hiraukan aja ejekan teman-temanmu itu, anggap aja itu angin
lalu.” kata Bu Guru menjelaskan. Akupun mendengarkan nasehatnya, beliau sangat
halus di setiap ucapannya tidak sedikitpun ucapannya yang mengganjal di hati.
Selama
satu tahun aku melewati ujian dan tantangan, aku selalu diejek dan selalu
direndahkan oleh teman-temanku karena aku hitam. Tapi aku nggak pernah nganggap
itu semua masalah yang berat, justru dengan cara itu aku ingin membuat mereka
itu kagum dan merasa butuh terhadapku.
Hari
ini adalah pengambilan raport kenaikan kelas, detak jantung telah terasa sejak
semalem. Kulihat raut wajah bapakku setelah turun dari motor, raut wajah yang
tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Bapakku sangat lesu dan kusam, kuhampiri
bapakku dengan rasa takut dan khawatir dengan nilaiku yang mungkin
mengecewakan. Aku sangat takut dan takut.... bapakku memberikan raportnya
kepadaku tanpa bicara apapun. Aku membukanya perlahan tapi pasti, kulihat dan
kutelusuri setiap inci tulisan itu. “Pak... alhamdulillah nilaiku cukup bagus
semua, nggak ada satupun yang merah.” Aku mulai berani bicara, ternyata bapakku
dari tadi udah senyam-senyum sendiri nggak jelas saat aku melihat raportku.
“Alya.... katanya Bu Nita, kamu nggak 10 besar kelas.” ucap bapakku bohong.
“Apa?!” aku mulai lemas saat mendengar ucapan bapakku. Bapakku memelukku dan
mengucapkan selamat kepadaku atas prestasiku yang cukup membuatnya bahagia. “Alya..
alhamdulillah kamu peringkat 2 di kelas, maafkan bapak telah membohongimu tadi.
Kalau bisa tingkatkan lagi nilaimu atau pertahankan nilaimu.” Aku menangis
dipelukan bapakku, mendengar tangisanku tetangga dan ibuku menghampiriku dengan
rasa penasaran. “Kamu kenapa Al, kok nangisnya keras banget” tanya tetanggaku.
“Nggak papa kok Bu, ini tangisan bahagia. Maafkan Alya telah membuat ibu
terganggu.”maafku terhadap tetanggaku.
Liburan kenaikan kelaspun usai juga, saatnya
untuk kembali belajar di sekolah. Di kelas 8 ini aku menemukan teman baru,
harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman-teman baru. Saat
pelajaran Fisika seorang guru bertanya kepada siswa, “ Setelah lulus SMP kalian
akan melanjutkan ke mana, usahakan jangan ke swasta ya?” Aku dan teman
sekelasku bingung mau menjawab apa, belum terngiang di pikiranku akan ke mana
setelah ini. “Kenapa kalian diam? Apa kalian belum kepikiran setelah ini mau
ngapain?” jawab guruku. “Belum Pak.” Jawab kami kompak. “Sekarang kalian maju
satu-satu
No comments:
Post a Comment